DAFTAR ISI
Bab I Pendahuluan............................................................................................................. 1
A.Latar belakang suku batak............................................................................................. 1
Bab II pembahasan............................................................................................................. 2
A.
Georafi dan demografi suk........................................................................................... 2
B.
Indengtitas suku batak.................................................................................................. 2
C.
Unsur -unsur kebudayaan suku batak........................................................................ 3
1. Sistem religi............................................................................................................... 6
A.
Kepercayaan asli suku bataK........................................................................... 7
1.
Menyangkut jiwa dan roh........................................................................... 8
2.
Suku batak toba........................................................................................... 9
B.
Parmalim.............................................................................................................. 10
C.
Masuknya agama islam
ditanah batak................................................................. 11
D.
Misionaris kristen................................................................................................. 12
E.
Geraja HKBP....................................................................................................... 13
2. Sistem
kekerabatan.................................................................................................... 14
A.
Sistem harajoan.................................................................................................... 15
B.
Perkawinan.......................................................................................................... 16
3. Sistem
mata pencaharian............................................................................................ 17
4. sistem
bahasa............................................................................................................. 18
A.
Aksara suku batak................................................................................................ 19
B.
Salam khas batak................................................................................................. 20
5. Sistem
kesenian ......................................................................................................... 21
1.
Tari tor tor khas suku
batak................................................................................. 22
2.
Alat musik margondang khas suku batak........................................................... 23
6. Hasil
kebudayaan suku batak.................................................................................... 24
A.
Pakaian adat suku batak...................................................................................... 25
B.
Rumah adat suku batak....................................................................................... 23
C.
Senjata tradisional............................................................................................... 27
D.
Upacara................................................................................................................ 27
7. Organisasi
masyarakat .............................................................................................. 27
A.
Falsafan dan sistem
kemasyarakat....................................................................... 27
8. Sistem
politik............................................................................................................. 28
9. Sistem
Iptek............................................................................................................... 29
Bab III Penutup ................................................................................................................. 30
A.
Kesimpulan............................................................................................................... 30
Daftar pustaka..................................................................................................................... 31
Kata pengantar
Dengan memanjatkan Puji syukur kepada Yang Maha Esa,
karna atas berkatnya kami bisa menyusun makalah ini untuk tujuan sebagai
pegangan bagi mahasiswa untuk mempelajari serta memahami berbagai suku-suku dan
adat di Indonesia.
Adapun
materi yang dibahas dalam makalah ini telah kami sesuaikan dengan garis-garis
besar mengenai kebudayaan batak toba.makalah ini diharapkan dapat dipergunakan
sebagai bahan ajaran pokok, baik bagi mahasiswa.namun demikian makalah ini bukan satu-satunya bahan yang dipergunakan.
Dalam
penyusunan makalah ini,kami menyadari masih banyak kekurangan dalam teknis
penyusunannya.oleh karena itu setiap penggunaan makalah ini bagi mahasiswa
maupun pihak lain yang terkait diharapkan dapat menerima manfaat sebagai bahan
pembelajaran.
Kepada semua pihak yang
berpartisipasi untuk menyelesaikan makalah ini ,kami mengucapkan trimakasih.
Penyusun
Kelas ekstensi A
Kebudayan
suku batak,ulos dan tari tor tor batak
Bab I
Pendahuluan
A. Latar
belakang Suku Batak
Orang Batak adalah penutur bahasa Austronesia namun
tidak diketahui kapan nenek moyang orang Batak pertama kali bermukim di
Tapanuli dan Sumatera Timur. Bahasa dan bukti-bukti arkeologi menunjukkan bahwa
orang yang berbahasa Austronesia dari Taiwan telah
berpindah ke wilayah Filipina dan Indonesia sekitar 2.500 tahun lalu, yaitu di
zaman batu muda (Neolitikum). Karena hingga sekarang belum ada
artefak Neolitikum (Zaman
Batu Muda) yang ditemukan di wilayah Batak maka dapat diduga bahwa nenek moyang
Batak baru bermigrasi ke Sumatera Utara di zaman logam. Pada abad ke-6,
pedagang-pedagang Tamil asal India mendirikan
kota dagang Barus, di pesisir
barat Sumatera Utara. Mereka berdagang kapur Barus yang diusahakan oleh
petani-petani di pedalaman. Kapur Barus dari tanah Batak bermutu tinggi
sehingga menjadi salah satu komoditas ekspor di samping kemenyan. Pada abad
ke-10, Barus diserang oleh Sriwijaya. Hal ini
menyebabkan terusirnya pedagang-pedagang Tamil dari pesisir Sumatera. Pada
masa-masa berikutnya, perdagangan kapur Barus mulai banyak dikuasai oleh pedagang Minangkabau yang
mendirikan koloni di pesisir barat dan timur Sumatera Utara. Koloni-koloni
mereka terbentang dari Barus, Sorkam,
hingga Natal.
Batak merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia. Nama ini merupakan sebuah
tema kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan
berasal dari Tapanuli dan Sumatera Timur, di Sumatera Utara. Suku bangsa yang
dikategorikan sebagai Batak adalah: Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak
Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing.
Mayoritas orang Batak menganut agama
Kristen dan sisanya beragama Islam. Tetapi ada pula yang menganut agama Malim
dan juga menganut kepercayaan animisme (disebut Sipelebegu atau Parbegu),
walaupun kini jumlah penganut kedua ajaran ini sudah semakin berkurang.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Geografi dan
Demografi Suku Batak
Tano Batak (Tanah Batak) meliputi
daerah seluas kurang lebih 50.000 km2, berpusat di Tao Toba (Danau Toba).
Terbentang dari wilayah pegunungan Bukit Barisan di sisi sebelah barat Propinsi
Sumatera Utara hingga pantai pesisir di sebelah timur. Sebagian besar Tano
Batak merupakan daerah dataran tinggi yang mengelilingi Danau Toba berilkim
sejuk sepanjang tahun , yaitu daerah Batak Karo, Batak Pakpak dan Batak
Simalungun di sebelah utara danau serta daerah Batak Toba, Batak Angkola dan
Batak Mandailing di bagian selatan. Pembagian daerah ini berdasarkan persebaran
masing-masing sub suku Batak yang menempati wilayah Tano Batak. Hingga saat ini
pembagian daerah pemukiman masyarakat batak tersebut diatas juga digunakan
sebagai dasar pembagian daerah administratif yaitu setingkat kabupaten.
Daerah Tano Batak berbatasan dengan
Propinsi Aceh di sebelah utara. Di sebelah barat berbatasan dengan daerah
kepulauan Nias dan di sebelah timur berbatasan dengan daerah kediaman
masyarakat mayoritas melayu yaitu wilayah Medan dan Deli. Sedangkan di sebelah
selatan berbatasan dengan daerah Sumatera Barat.
Danau Toba sebagai simpul pemersatu
Tano Toba berada pada ketinggian 900m di atas permukaan laut. Danau Toba
terbentuk dari bekas kawah letusan gunung berapi yang kemudian dipenuhi oleh
air. Danau Toba adalah salah satu kebanggaan masyarakat Batak sebagai danau
terbesar di kawasan Asia Tenggara dengan pemandangannya yang menawan di sekitar
danau. Terdapat sebuah pulau di tengah-tengah Danau Toba yang dinamakan Pulau
Samosir (menurut sejarah sesungguhnya dahulu tidak benar-benar terpisah dengan
dataran disekeliling Danau Toba artinya tidak benar-benar sebuah pulau).
Masyarakat yang menamakan dirinya
Bangso Batak ini meliputi sekitar +6 juta populasi (sensus tahun 2000, hmmm
sudah lama juga ya tidak ada sensus lagi), terdiri dari 6 sub suku Batak yaitu
Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Toba, Batak Angkola dan Batak
Mandailing. Kumpulan masyarakat ini disatukan oleh kesamaan dalam hal bahasa,
adat istiadat dan juga kepercayaan bahwa mereka berasal dari satu nenek moyang
yang sama yaitu si Raja Batak. Mata pencaharian sebagai petani baik petani
sawah dan ladang merupakan mata pencaharian utama mereka disamping mata
pencaharian lainnya seperti pedagang, tenaga pengajar, pelaku seni, dlsb. Agama
yang dianut oleh masyarakat Batak adalah Kristen, Islam, Hindu dan Budha serta
aliran kepercayaan yang masih tetap dianut oleh sebagian kecil masyarakat
hingga saat ini.
Masyarakat Batak merupakan
masyarakat perantau yang diwarisi dengan sifat pekerja keras, berani, jujur dan
pantang menyerah. Keinginan untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik selalu
ditanamkan kepada generasi muda sehingga demi mencapai impian, seorang pemuda
atau pemudi batak harus bersedia meninggalkan kampung halaman tercinta untuk
merantau ke negeri/daerah orang yang jauh. Akan tetapi kerinduan akan kampung
halaman masih akan selalu melekat di hati. Tak heran saat ini banyak orang
Batak yang berhasil dan sukses tersebar di seluruh penjuru dunia.
B. Identitas
Suku Batak
R.W Liddle mengatakan, bahwa sebelum
abad ke-20 di Sumatera bagian utara tidak terdapat kelompok etnis sebagai
satuan social koheren. Menurutnya sampai abad ke-19, interaksi social di daerah
itu hanya terbatas pada hubungan antar individu, antar kelompok kekerabatan
atau antar kampung. Hampir tidak ada kesadaran untuk menjadi bagian dari satuan-satuan
social dan politik yang lebih besar. Pendapat lain mengemukakan, bahwa
munculnya kesadaran mengenai sebuah keluarga besar Batak baru terjadi pada masa
zaman colonial. J. Pardede mengemukakan bahwa bahwa istilah “Tanah Batak” dan
“Rakyat Batak” diciptakan oleh pihak asing. Sebaliknya Siti Omas Manurung,
seorang istri dari putra pendeta Batak Toba menyatakan, bahwa sebelum
kedatangan Belanda, semua orang baik Karo maupun Simalungun mengakui dirinya
sebagai Batak dan Belandalah yang telah membuat terpisahnya kelompok-kelompok
tersebut. Sebuah mitos yang memiliki berbagai macam versi menyatakan bahwa
Pusuk Buhit salah satu puncak di barat Danau Toba adalah tempat kelahiran
bangsa Batak. Selain itu mitos-mitos tersebut juga menyatakan bahwa nenek moyang
orang Batak berasal dari Samosir.
Terbentuknya masyarakat Batak yang
tersusun dari berbagai macam marga, sebagian disebabkan karena adanya migrasi
keluarga-keluarga dari wilayah lain di Sumatera. Penelitian penting tentang
tradisi Karo dilakukan oleh J.H Neumann, berdasarkan sastra lisan dan
transkripsi dua naskah setempat, yaitu Pustaka Kembaren dan Pustaka Ginting.
Menurut Pustaka Kembaren, daerah asal marga Kembaren dari Pagaruyung di
Minangkabau. Orang Tamil diperkirakan juga menjadi unsur pembentuk masyarakat
Karo. Hal ini terlihat dari banyaknya nama marga Karo yang diturunkan dari
bahasa Tamil. Orang-orang Tamil yang menjadi pedagang di pantai barat, lari ke
pedalaman Sumatera akibat serangan pasukan Minangkabau yang datang pada abad
ke-14 untuk menguasai Barus.
C. Unsur- Unsur
Kebudayaan Suku Batak
1. Sistem
Religi
a. Kepercayaan
Asli Suku Batak
Kepercayaan yang dianut suku batak
sebelum mengenal agama protestan dan islam adalah kepercayaan bahwa alam
semesta beserta isinya diciptakan oleh Debata Mula Jadi Na Bolon dan bertempat
tinggal diatas langit, bahkan pada masyarakat daerah pedesaan belum
meninggalkan kepercayaan tercebut. mereka mempunyai system kepercayaan dan
religi tentang Mulajadi Nabolon yang memiliki kekuasaan diatas langit dan
pancaran kekuasaan-Nya terwujud dalam Debata Natolu.
Menyangkut
jiwa dan roh, suku Batak Toba mengenal tiga konsep, yaitu :
1). Debata
Mula Jadi Na Bolon : bertempat tinggal diatas langit dan merupakan
maha pencipta;
2). Siloan
Na Bolon : berkedudukan sebagai penguasa dunia makhluk halus. Dalam
hubungannya dengan roh dan jiwa. Orang Batak
mengenal tiga konsep yaitu :
a) tondi (adalah jiwa
atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu tondi memberi nyawa
kepada manusia. Tondi di dapat sejak seseorang di dalam kandungan.bila tondi
meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan sakit atau meninggal,
maka diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari sombaon yang menawannya.
b) jiwa
c) roh
3). Sahala : jiwa
atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang, semua orang memiliki tondi,tetapi
tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan sumanta, tuah atau
kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula.
4). Begu : tondinya
orang yang sudah mati, yang tingkah lakunya sama dengan tingkah laku manusia,
hanya muncul pada waktu malam. Orang batak juga percaya akan kekuatan sihir
dari jimat yang disebut tongkal.
b.parmalim
Istilah Parmalim merujuk kepada penganut
agama Malim. Agama
Malim yang dalam bahasa Batak disebut Ugamo Malim adalah
bentuk moderen agama asli suku Batak. Agama asli
Batak tidak memiliki nama sendiri, tetapi pada penghujung abad kesembilan belas
muncul sebuah gerakan anti kolonial. Pemimpin utama mereka adalah Guru
Somalaing Pardede. Agama Malim pada hakikatnya merupakan agama asli Batak,
namun terdapat pengaruh agama Kristen, terutama Katolik, dan juga pengaruh agama Islam.
Agama ini tidak mengenal Surga atau sejenisnya,sepeti
agama umumnya, selain Debata Mula jadi Na Bolon (Tuhan YME) dan Arwah-arwah
leluhur, belum ada ajaran yang pasti reward atau punisnhment atas perbuatan
baik atau jahat, selain mendapat berkat atau dikutuk menjadi miskin dan tidak
punya turunan. Tujuan upacara agama ini memohon berkat Sumangot dari Debata
Mula jadi Na bolon (Tuhan YME), dari Arwah-arwah leluhur, juga dari Tokoh-tokoh
adat atau kerabat-kerabat adat yang dihormati, seperti Kaum Hula-hula (dari
sesamanya). Agama ini lebih condong ke paham Animisme. Agama ini bersifat
tertutup, masih hanya untuk suku Batak, karena upacara ritualnya memakai bahasa
Batak, dan setiap orang harus punya marga, tidak beda dengan agama-agama
suku-suku animisme dibelahan bumi lainnya, sifatnya tidak universal.
Tuhan dalam kepercayaan Malim adalah "Debata Mula
Jadi Na Bolon" (Tuhan YME) sebagai pencipta manusia, langit, bumi dan
segala isi alam semesta yang disembah oleh "Umat Ugamo Malim"
("Parmalim"). Agama Malim terutama dianut oleh suku Batak Toba di provinsi Sumatera Utara. Sejak
dahulu kala terdapat beberapa kelompok Parmalim namun kelompok terbesar adalah
kelompok Malim yang berpusat di Huta Tinggi,
Kecamatan Lagu Boti, Kab. Toba Samosir. Hari Raya utama Parmalim disebut
Si Pahasada (yaitu '[bulan] Pertama') serta Si Pahalima (yaitu '[bulan] Kelima)
yang secara meriah dirayakan di kompleks Parmalim di Huta Tinggi.
Pada abad 19
agama Islam masuk daerah penyebarannya meliputi batak selatan. Masyarakat Batak
tidak pernah mengenal Islam sebelum disebarkan oleh para pedagang Minangkabau.
Bersamaan dengan usaha dagangnya, banyak pedagang Minangkabau yang melakukan
menikah dengan perempuan Batak. Hal ini secara perlahan telah meningkatkan
pemeluk Islam di tengah-tengah masyarakat Batak. Pada masa perang Paderi di
awal abad ke-19, pasukan Minangkabau menyerang tanah Batak dan melakukan
pengislaman besar-besaran atas masyarakat Mandailing dan Angkola. Namun penyerangan
Paderi atas tanah Toba, tidak dapat mengislamkan masyarakat tersebut, yang pada
akhirnya mereka menganut agama Kristen Protestan. Kerajaan Aceh di utara, juga
banyak berperan dalam mengislamkan masyarakat Karo dan Pakpak. Sementara
Simalungun banyak terkena pengaruh Islam dari masyarakat Melayu di pesisir
Sumatera Timur.
d. Misionaris
Kristen
Agama Kristen masuk sekitar tahun
1863 dan penyebarannya meliputi batak utara. Pada tahun 1824, dua
misionaris baptis asal Inggris, Richard Burton dan Nathaniel Ward berjalan kaki
dari Sibolga menuju pedalaman Batak. Setelah tiga hari berjalan, mereka sampai
di dataran tinggi Silindung dan menetap selama dua minggu di pedalaman. Dari
penjelajahan ini, mereka melakukan observasi dan pengamatan langsung atas
kehidupan masyarakat Batak. Pada tahun 1834 kegiatan ini diikuti oleh Henry
Lyman dan Samuel Manson dari dewan komisaris Amerika untuk misi luar negeri.
Pada tahun 1850, dewan Injil Belanda menugaskan Herman Neubronner Van Der Tuuk
untuk menerbitkan buku tata bahasa dan kamus bahasa Batak-Belanda. Hal ini
bertujuan untuk memudahkan misi-misi kelompok Kristen Belanda dan Jerman
berbicara dengan masyarakat Toba dan Simalungun yang menjadi sasaran
pengkristenan mereka.
Misionaris pertama asal Jerman tiba di lembah sekitar Danau Toba pada tahun
1861 dan sebuah misi pengkristenan dijalankan pada tahun 1881 oleh Dr. Ludwig
Ingwer Nommensen. Kitab Perjanjian Baru untuk pertama kalinya diterjemahkan ke
bahasa Batak Toba oleh Nommensen pada tahun 1869 dan penerjemahan Kitab
Perjanjian Lama diselesaikan oleh P.H. Johannsen pada tahun 1891. Teks
terjemahan tersebut dicetak dalam huruf latin di Medan pada tahun1893. Menurut
H.O. Voorma, terjemahan ini tidak mudah dibaca, agak kaku dan terdengar aneh
dalam bahasa Batak.
Masyarakat Toba dan Karo menyerap agama Kristen dengan cepat dan pada awal abad
ke-20 telah menjadikan Kristen sebagai identitas budaya. Pada masa ini
merupakan periode kebangkitan kolonialisme Hindia-Belanda, dimana banyak orang
Batak sudah tidak melakukan perlawanan lagi dengan pemerintahan colonial.
Perlawanan secara gerilya yang dilakukan oleh orang-orang Batak Toba berakhir
pada tahun 1907, setelah pemimpin kharismatik mereka, Sisingamangaraja XII
wafat.
e. Gereja HKBP
Gereja
Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) telah berdiri di Balige pada bulan
September 1917. Pada akhir tahun 1920-an, sebuah sekolah perawat memberikan
pelatihan keperawatan kepada bidan-bidan disana. Kemudian pada tahun 1941.
Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) didirikan.
2. Sistem
Kekerabatan
a. Sistem
Harajoan
Harajoan dapat
didefiniskan pola kepemimpinan dan sistem kemasyarakatan dalam kebudayaan
masyarakat Batak Toba. Sistem Harajoan berlaku pada dua level organisasi
sosial masyarakat Batak Toba, yaitu suku dan kampung atau Huta.
Harajoan tidak hanya berkaitan dengan pengorganisiran para anggota suku maupun
huta, tetapi juga mengatur mengenai luas teritori dan pola serta
otorisasi kepemimpinan dalam suatu suku dan huta.
Dalam sistem
Harajoan, kepemimpinan dalam satu suku dinamakan Raja Maropat. Posisi Raja
Maropat ini erat kaitannya dengan kelompok kekerabatan yang disebut marga. Hal
ini terkait juga dengan mitologi suku Batak yang meyakini bahwa seluruh orang
Batak dari berbagai sub suku adalah keturunan Si Raja Batak yang kemudian
melahirkan banyak keturunan. Keturunan Si Raja Batak inilah yang mengorganisir
diri dalam kelompok-kelompok tertentu guna memperjelas identitas genealogis
mereka. Kelompok-kelompok itulah yang disebut marga. Penentuan pemimpin dalam
kelompok suku itu berdasarkan pada silsilah marga atau tarombo dari
masing-masing anggota suku. Bila berdasarkan tarombo tersebut ada seseorang
yang silsilahnya mendekati garis keturunan terdekat dari Si Raja Batak, maka
orang itu dapat diangkat sebagai pemimpin.
Ketika
beberapa suku telah sepakat untuk tinggal bersama dalam suatu daerah, maka di
daerah tersebut akan didirikan suatu kampung atau huta. Huta dapat
didefinisikan sebagai persekutuan terkecil masyarakat Batak (Vergouwen, 1986).
Huta dipimpin oleh seorang Raja Huta. Biasanya yang dipilih oleh penduduk huta
untuk menjadi Raja Huta adalah pendiri huta yang bersangkutan.
Makin lama
huta makin dipenuhi oleh penduduk dari berbagai suku di Batak Toba. Akhirnya
beberapa penduduk pindah dan membentuk huta baru. Hasilnya, banyak
terbentuk huta di daerah kebudayaan Batak Toba. Beberapa diantara huta tersebut
kemudian membentuk federasi atau persekutuan guna mewujudkan tujuan bersama
diantara mereka. Persekutuan tersebut dinamakanHorja. Horja dipimpin
oleh seorang Raja Horja yang dipilih dari para raja huta yang bergabung dalam
federasi horja. Namun pemilihan Raja Horja ini tidaklah melalui voting,
melainkan musyawarah secara terbuka.
Musyawarah
untuk mufakat pun menjadi bagian dari perencanaan pendirian huta baru. Di
tingkat huta, ada mekanisme musyawarah yang membahas niat beberapa suku
untuk mendirikan satu perkampungan atau huta baru. Mekanisme tersebut tonggo
raja atau marria raja. Dalam tonggo raja, setiap raja suku ataupun
penduduk berhak menyampaikan aspirasinya masing-masing. Musyawarah tersebut
membahas persetujuan suku-suku lain terhadap pembangunan huta baru. Apabila
hasil dari musyawarah itu tidak memberikan peluang bagi terbentuknya huta baru,
maka pendirian huta harus dibatalkan atau ditunda. Pihak yang merasa keberatan
dengan hasil musyawarah dapat menyampaikan aspirasinya ke tingkat horja untuk
dibahas kembali. Tampak adanya mekanisme banding seperti yang terdapat pada
pranata hukum modern.
Dalam huta
maupun horja tidak ada pranata yang mengatur aspek religiusitas masyarakat
Batak Toba. Aspek religiusitas baru dikelola dalam suatu lembaga yang secara
struktural lebih tinggi dari horja. Lembaga itu adalah Bius. Bius merupakan
perserikatan yang terdiri dari kelompok-kelompok marga yang ada di beberapa
horja. Perserikatan bius ini dipimpin oleh raja bius yang
terdiri dari terdapat empat orang (raja na opat), yaitu Raja Parmalim
(religi), Raja Adat (hukum adat), Raja Parbaringin (sosial, politik dan
keamanan), Raja Bondar (ekonomi). Raja Parmalim merupakan bagian dari Raja Bius
yang memiliki otoritas dibidang agama, dalam hal ini agama Parmalim (agama asli
Batak). Masing-masing dari Raja bius itu dipilih oleh wakil-wakil dari
kelompok marga. Raja Parbaringin, misalnya, dipilih oleh penduduk dari
tiap-tiap marga dalam bius melalui suatu musyawarah.
Terdapat hal
menarik dari bius. Dalam lembaga tersebut ada pemimpin perempuan yang disebutPaniaran.
Panjaran berfungsi sebagai “penyambung lidah” kaum perempuan dalam bius. Paniarandapat
diistilahkan pula sebagai cerminan keterwakilan perempuan dalam pengambilan
keputusan yang menyangkut kehidupan masyarakat luas (khususnya kaum perempuan)
di tingkat bius.
Orang Batak menganut prinsip
keturunan patrilineal (garis keturunan laki-laki). Kelompok kekerabatan yang
terkecil ialah keluarga batih atau rips(Toba), jabu (Karo).
Suatu kelompok kekerabatan yang besar pada orang Toba disebut marga,
orang Karo menyebutnya merga.
Di dalam masyarakat Batak, ada
suatu hubungan antara kelompok-kelompok kekerabatan yang mantap. Kelompok
kerabat tempat istrinya berasal disebut hula-hula pada
Batak Toba atau kalimbubu pada Batak Karo. Keluarga penyunting
gadis disebut beru atau boru. Keluarga pihak
laki-laki atau perempuan yang sedarah disebut senina atau sabutuha.
Suat upacara adat, misalnya pesta perkawinan dan kematian, tidaklah sempurna
kalau ketiga kelompok tersebut tidak hadir.
Perkawinan pada masyarakat
Batak merupakan suatu pranata yang tidak hanya mengikat laki-laki dan perempuan.
Perkawinan mengakibatkan terbentuknya hubungan antara keluarga laki-laki
( peranak = Toba, sinereh = Karo) dan kaum si
kerabat wanita (parbobu = Toba, sinereh = Karo).
Itulah sebabnya, menurut adat lama, seorang laki-laki tidak bebas tidak bebas
memilih jodohnya. Perkawinan yang dianggap ideal bila seorang laki-laki
mengambil salah seorang putri saudara laki-laki ibunya sebagai istri. Seorang
pria atau wanita tidak boleh kawin dengan orang semarga, karena orang semarga
dianggap bersaudara. Sistem perkawinan semacam itu disebut asimetrikkonobium.
b. Perkawinan
Pada
tradisi suku Batak seseorang hanya bisa menikah dengan orang Batak yang berbeda
klan sehingga jika ada yang menikah dia harus mencari pasangan hidup dari marga
lain selain marganya. Apabila yang menikah adalah seseorang yang bukan dari
suku Batak maka dia harus diadopsi oleh salah satu marga Batak (berbeda klan).
Acara Tersebut dilanjutkan dengan prosesi perkawinan yang dilakukan di gereja
karena mayoritas penduduk Batak beragama Kristen. Untuk mahar
perkawinan-saudara mempelai wanita yang sudah menikah.orang Batak biasanya
mengharuskan untuk menikah dengan paribannya, menurut mereka hal ini dilakukan
agar garis ketrunannya tidak terputus.Pariban adalah sebutan untuk orang
yang memiliki ibu yang marganya sama dengan wanita yang akan dijadikan
istrinya.
3. Sistem mata
pencaharian
Sebagian besar masyarakat Batak Toba
saat ini bermata pencaharian sebagai petani, peladang, nelayan, pegawai,
wiraswasta dan pejabat pemerintahan. Dalam berwiraswasta bidang usaha yang
banyak dikelola oleh masyarakat adalah usaha kerajinan tangan seperti usaha
penenunan ulos, ukiran kayu, dan ukiran logam. Saat ini sudah cukup banyak juga
yang memulai merambah ke bidang usaha jasa. Masyarakat tradisional Batak Toba
bercocok tanam padi di sawah dan juga mengolah ladang secara berpindah-pindah.
Pengelolaan tanaman padi di sawah banyak terdapat di daerah selatan Danau Toba.
Hal ini disebabkan oleh daerah
tersebut adalah dataran yang landai dan terbuka sehingga memungkinkan untuk
bercocok tanam padi di sawah. Sedangkan ladang banyak terdapat di daerah utara
(Karo, Simalungun, Pakpak, dan Dairi). Kawasan ini berhutan lebat dan tertutup
serta berupa dataran tinggi yang sejik sehingga mengakibatkan lahan ini lebih
memungkinkan untuk pengolahan ladang. Jika anda mendengar daerah Karo sebagai
peghasil sayuran dan buah yang potensial, ini adalah salah satu dampak positif
yang dihasilkan oleh keberadaan bentuk lahan tersebut.
Sebelum teknologi pengolahan pangan
mencapai daerah tano Batak, hasil pengolahan tanaman padi di sawah hanya dapat
menghasilkan panen satu kali dalam satu tahun. Hal ini disebabkan oleh
pengolahan tanah yang tidak begitu baik, irigasi yang terbatas dan juga tanpa
penanganan tanaman yang terampil. Demikian halnya dengan hasil pengolahan
tanaman di ladang, hanya dapat menghasilkan panen satu hingga dua kali saja
lalu kemudaian lahan tidak dapat digunakan lagi. Kemudian ladang tersebut akan
ditinggalkan dan berpindah ke ladang yang baru. Dahulu kala,pembukaan ladang
yang baru dimulai dengan pemilihan lahan melalui ritual bersama seorang datu
(dukun) yang disebut parma-mang. Lahan yang biasanya dijadikan ladang adalah
lahan yang tidak ditempati atau kawasan hutan alami yang belum dijamah oleh
manusia. Kemudian lahan tersebut dibersihkan dengan cara dibakar. Upacara
selanjutnya adalah memberikan sesaji kepada penunggu lahan agar tidak
mengganggu pengolah ladang dan juga sekaligus sebagai upacara pemilihan hari baik
untuk mulai menanam. Selama musim pembukaan lahan ini, masyarakat kampung
dilarang untuk keluar-masuk kampung. Hal ini dilakukan untuk menghindari mala
petaka dan bahaya yang mungkin terjadi karena penunggu lahan yang merasa
terusik. Sekarang keberadaan datu ini sudah tidak menjadi dominan lagi,
akan tetapi kebiasaan membuka lahan baru ini masih tetap ada. Tanaman
yang sering ditanam di ladang ini adalah tebu, tanaman obat, ubi, sayu-sayuran
dan mentimun.
Demikian juga pohon aren yang
sengaja ditanam di tengah ladang untuk menghasilkan tuak, sejenis minuman
beralkohol, yang menjadi kesukaan masyarakat Batak. Ada pula beberapa komoditi
unggulan yang menjadi kelebihan suatu daerah. Seperti hasil panen utama dari
daerah Simalungun dan Mandailing adalah jagung dan ubi kayu, serta beragam
sayuran. Dari daerah Pakpak yang menjadi komoditi unggulannya adalah kemenyan
dan kapur barus. Bayangkan betapa kayanya tano Batak ini.
Saat ini masyarakat Batak sudah
banyak yang mengolah padi hibrida di sawah mereka, tentunya orang Batak tidak
mau ketinggalan dari yang lainnya. Satu kemajuan ini bagi orang Batak. Beralih
kepada masa pengaruh perkembangan ekonomi terhadap pertanian di tanah Batak.
Pengaruh perkembangan perekonomian tersebut mulai terlihat ketika penjajah memasuki
daerah Tano Toba. Produksi tanaman padi dan hasil ladang meningkat pesat. Hal
ini disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan pangan untuk para pekerja kuli yang
datang memasuki daerah Tano Toba. Pekerja kuli ini didatangkan dari semenanjung
Malasya (mayoritas china) dan juga daerah Jawa, karena masyarakat lokal tidak
bersedia menjadi pekerja untuk penjajah. Pada tahun-tahun pertama masa
pendudukan penjajahan, pejabat kolonial telah membangun sistem transportasi
yang menggunakan tenaga para pekerja kuli tersebut.
Untuk mendukung peningkatan
produktivitas tanaman padi di sawah, pejabat kolonial menyediakan lahan yang
akan diolah untuk menanam padi dan juga memperbaiki saluran irigasi. Beberapa
tahun kemudian dilaksanakan percobaan penanaman tanaman yang berasal dari Eropa
seperti kentang dan kol di daerah dataran tinggi Karo. Masyarakat menyambut
baik usaha ini. Hasil produk pertanian yang ada dapat diekspor hingga ke luar
negeri(Penang dan Singapura). Sejumlah besar petani kecil di daerah bercocok
tanam padi di sawah dan ladang. Tapanuli kemudian juga turut mencoba mengelola
jenis tanaman yang sama. Selain tanaman sayuran, diadakan juga percobaan
penanaman tanaman perkebunan yang menjadi cikal bakal pengembangan kawasan
perkebunan di Tano Toba. Pada umumnya masyarakat Batak telah mengenal dan
mempergunakan alat-alat sederhana yang dipergunakan untuk bercocok tanam dalam
kehidupannya. Seperti cangkul, bajak (tenggala dalam bahasa Karo), tongkat
tunggal (engkol dalam bahasa Karo), sabit (sabi-sabi) atau ani-ani.
Lahan didapat dari pembagian yang
didasarkan marga. Setiap keluarga mendapat tanah tadi , tetapi tidak boleh
menjualnya. Selain tanah ulayat adapaun tanah yang dimiliki perseorangan.
Peternakan juga salah satu mata pencaharian suku Batak antara lain peternakan
kerbau, sapi, babi, kambing, ayam, dan bebek. Penangkapan ikan dilakukan
sebagian penduduk disekitar danau Toba. Sektor kerajinan yang berkembang.
Misalnya tenun, anyaman rotan, ukiran kayu, tembikar, yang ada kaitannya dengan
pariwisata.
4. Sistem
bahasa
Dalam, kehidupan dan pergaulan
sehari-hari, orang batak menggunakan beberapa logat,
ialah : logat karo (yang dipakai oleh orang Karo), logat pakpak (yang dipakai
oleh Pakpak), logat simalungun (yang dipakai oleh Simalungun), logat toba ( Yang
dipakai oleh orang Toba, Angkola dan Mandailing)
a. Aksara Suku
Batak
Orang Batak adalah salah satu suku dari sedikit suku
di Indonesia yang memiliki aksara sendiri yaitu aksara Batak. Walaupun
masing-masing sub suku Batak juga memiliki jenis huruf yang berbeda-beda akan
tetapi kemiripan masing-masing huruf tersebut masih dapat dimengerti oleh
masing-masing sub suku lainnya. Bahasa yang digunakan oleh masyarakat Batak
juga mememiliki kemiripan antara satu sub suku dengan sub suku lainnya.
Sehingga tidak mengherankan apabila satu orang Batak dapat menguasai beberapa
jenis bahasa Batak sekaligus. Dari struktur penyusunan dan pengucapan bahasa,
terdapat 2(dua) kelompok utama: bahasa Toba serta logat Angkola dan Mandailing
yang serumpun (kelompok bahasa selatan); bahasa Karo, bersama logat Dairi dan
Pakpak yang serumpun(kelompok bahasa utara). Sedangkan bahasa yang dipakai di
Simalungun merupakan perpaduan kedua kelompok bahasa tersebut di atas. Dari
keenam sub suku yang ada bahasa Batak Toba adalah bahasa yang paling banyak
digunakan. Dalam beberapa hasil penelitian disebutkan bahwa bahasa maupun
tulisan aksara Batak banyak mendapat pengaruh dari India yaitu bahasa
Sanskerta. Pengaruh tersebut diyakini masuk melalui kebudayaan Hindu Jawa atau
Hindu Sumatera. Sebagai contoh dalam bahasa Batak Toba, purba diartikan sebagai
arah mata angin utara demikian halnya dalam bahasa sansekerta India. Entah
dimana letak kebenarannya, apakah orang Batak adalah penerus dari orang India
yang bermigarasi ke Tano Toba atau sebaliknya, saat ini belum ada kesimpulan
yang pasti untuk itu.
Aksara Batak Toba terbagi atas dua bagian besar yaitu
suku kata dasar yang dibentuk oleh penggalan suku-suku kata yang diakhiri
dengan huruf vokal a, misalnya ha, ka, ba, pa, dll. Kelompok huruf seperti ini
dikenal sebagai ina ni surat atau indung surat. Kelompok huruf lainya disebut
sebagai anak ni surat yaitu imbuhan yang membentuk penggalan suku kata gabungan
yang tidak terdapat pada suku kata dasar seperti e, i, u, o, eng, ing, ang,
ung, ong,dll. Dalam penulisan aksara Batak Toba terdapat aturan-aturan yang
menggabungkan antara ina ni surat dan anak ni surat sehingga membentuk sebuah
kata dan kalimat yang memiliki arti. Secara umum pembagian ini juga ada dalam
aksara sub suku Batak lainnya.
Dalam bidang satra, dapat ditemukan beberapa
jenis hasil karya sastra yang berkembang dalam masyarakat Batak Toba,
diantaranya adalah mitos, sajak, mantera-mantera, doa dukun
(tonggo-tonggo),pantun nasihat/umpasa-umpasa, senandung/ andung-andung serta
teka-taki/huling-hulingan atau hutinsa serta beragam turi-turian/ cerita
rakyat. Dari sekian banyak mitos dan turi-turian/ cerita rakyat yang berkembang
di masyarakat, kisah yang paling banyak dikenal adalah kisah penciptaan manusia
pertama yang diyakini berasal dari turunan Debata Mulajadi Na Bolon. Dikisahkan
Debata Mulajadi Na Bolon adalah dewa tertinggi dalam mitologi Batak. Bersama
dengan dewa-dewi lainnya ia menciptakan tiga tingkat dunia yaitu Banua Ginjang,
Banua Tonga, dan Banua Toru. Istrinya yang bernama Manuk Patiaraja melahirkan
tiga butir telur yang kemudian menetas menjadi 3 orang anak Debata Mulajadi Na
Bolon yaitu Batara Guru, Soripada, dan Mangala Bulan. Batara Guru berkedudukan
di Banua Ginjang. Soripada berkedudukan di Banua Tonga dan Mangala Bulan
berkedudukan di Banua Toru. Ketiganya dikenal sebagai kesatuan dengan nama
Debata Sitolu Sada (Tiga Dewa Dalam Satu) atau Debata Na Tolu (Tiga Dewata).
Dikisahkan pula Debata Mulajadi Na Bolon kemudian mengirimkan putrinya Tapionda
ke bumi tepatnya ke kaki Gunung Pusuk Buhit. Tapionda kemudian menjadi ibu raja
yang pertama di tanah Batak yaitu si Raja Batak. Ini adalah salah satu mitos
yang dipercayai oleh orang Batak dari sekian banyak mitos yang diturunkan oleh
nenek moyang orang Batak kepada para penerusnya.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, kata atau
istilah debata berasal dari bahasa Sansekerta (India) yang mengalami
penyesuaian dialek Batak. Karena dalam dialek Batak tidak mengenal huruf c, y,
dan w sehingga dewata berubah menjadi debata atau nama Carles dipanggil Sarles,
hancit (sakit) dipanggil menjadi hansit.
Dari pengamatan penulis, setiap kata atau istilah
Sansekerta yang memiliki huruf w, kalau masuk ke dalam Bahasa Batak akan
diganti menjadi huruf b, atau huruf yang lain.
Istilah-istilah
Sansekerta yang diserap dalam bahasa batak
Purwa ; Prba ; Timur
Wajawia
; Manabia ; Barat Laut
Wamsa ;
Bangso ; Bangsa
Pratiwi ; Portibi ;
Pertiwi
Swara ; Soara ; Suara
Swarga ; Surgo ; Surga
Tiwra ; Simbora ;
Perak
b. Salam Khas
Batak
Tiap puak
Batak memiliki salam khasnya masing masing. Meskipun suku Batak terkenal dengan
salam Horasnya, namun masih ada dua salam lagi yang kurang populer di
masyarakat yakni Mejuah juah dan Njuah juah. Horas sendiri masih
memiliki penyebutan masing- masing berdasarkan puak yang menggunakannya.
Berikut ini beberapa contoh salam khas Batak:
1.
Pakpak “Njuah-juah Mo Banta Karina!”
2. Karo “Mejuah-juah Kita Krina!”
3. Toba “Horas Jala Gabe Ma Di Hita
Saluhutna!”
4. Simalungun “Horas banta
Haganupan, Salam Habonaran Do Bona!”
5. Mandailing dan Angkola “Horas
Tondi Madingin Pir Ma Tondi Matogu, Sayur Matua Bulung!”
5. Sistem Kesenian
pecinta Alat musik khas Suku Batak yaitu: Musik
gondang. Orang Batak dikenal dengan sebagai masyarakat seni dan musik penghiburan).
Hampir semua sub suku memiliki jenis kesenian yang unik dan berbeda dari sub
suku lainnya. Kesenian orang Batak Toba sendiri cukup beragam mulai dari
tarian, alat musik dan jenis-jenis Seni Tari khas Suku Batak yaitu: Tari
Tor-Tor (bersifat magis), Tari Serampang dua belas (bersifat nyanian. Tarian
yang menjadi ciri khas orang Batak Toba adalah tari Tor-tor dengan berbagai
jenis nama tari untuk berbagai jenis kegiatan yang berbeda-beda. Tor-tor atau
tari-menari merupakan salah satu kebudayaan Batak yang tertua. Dahulu kala seni
tari-menari duhubungkan dengan kepercayaan animisme yang dapat mendatangkan
kuasa-kuasa magis. Acara tari-menari diadakan untuk memohon kemenangan,
kesehatan, dan kehidupan sejahtera kepada dewa-dewa. Acara tari-menari juga
diadakan bilamana ada orang yang lahir, akil balig dan diterima sebagai anggota
suku, pada saat menikah, dan pada waktu sudah mati. Namun sekarang tarian
tersebut tidak lagi bersifat animisme, tetapi lebih dimaksudkan untuk
mempererat hubungan kekerabatan dalam Dalihan Na Tolu.
Tari Tor-Tor
Khas Suku Batak
Tor-tor adalah
tarian seremonial yang disajikan dengan musik gondang. Walaupun secara fisik
tortor merupakan tarian, namun makna yang lebih dari gerakan-gerakannya
menunjukkan tor-tor adalah sebuah media komunikasi, dimana melalui gerakan yang
disajikan terjadi interaksi antara partisipan upacara. Tor-tor dan musik
gondang ibarat koin yang tidak bisa dipisahkan.
Gambar : Tari Tortor
TARI TOR TOR BATAK
Tari Tor tor adalah tari tradisional
Suku Batak.
Gerakan tarian ini seirama dengan
iringan musik (magondangi) yang dimainkan menggunakan alat-alat musik
tradisional seperti gondang, suling, terompet batak, dan lain-lain. Menurut
sejarah, tari tor tor digunakan dalam acara ritual yang berhubungan dengan roh.
Roh tersebut dipanggil dan “masuk” ke patung-patung batu (merupakan simbol
leluhur).Patung-patung tersebut tersebut kemudian bergerak seperti menari,
tetapi dengan gerakan yang kaku. Gerakan tersebut berupa gerakan kaki
(jinjit-jinjit) dan gerakan tangan.Jenis tari tor tor beragam. Ada yang
dinamakan tor tor Pangurason (tari pembersihan). Tari ini biasanya digelar pada
saat pesta besar.Sebelum pesta dimulai, tempat dan lokasi pesta terlebih dahulu
dibersihkan dengan menggunakan jeruk purut agar jauh dari mara
bahaya.Selanjutnya ada tari tor tor Sipitu Cawan (Tari tujuh cawan). Tari ini
biasa digelar pada saat pengukuhan seorang raja.Tari ini juga berasal dari 7
putri kayangan yang mandi di sebuah telaga di puncak gunung pusuk buhit
bersamaan dengan datangnya piso sipitu sasarung (Pisau tujuh sarung).Terakhir,
ada tor tor Tunggal Panaluan yang merupakan suatu budaya ritual. Biasanya digelar
apabila suatu desa dilanda musibah.Tunggal panaluan ditarikan oleh para dukun
untuk mendapat petunjuk solusi untuk mengatasi masalah tersebut. Sebab tongkat
tunggal panaluan adalah perpaduan kesaktian Debata Natolu yaitu Benua atas,
Benua tengah, dan Benua bawah.Dahulu, tarian ini juga dilakukan untuk acara
seremoni ketika orangtua atau anggota keluarganya meninggal dunia. Kini, tari
tor tor biasanya hanya digunakan untuk menyambut turi
Seni tari Batak pada zaman dahulu merupakan sarana
utama pelaksanaan upacara ritual keagamaan. Juga menari dilakukan juga dalam
acara gembira seperti sehabis panen, perkawinan, yang waktu itu masih
bernapaskan mistik (kesurupan).Acara pesta adat yang membunyikan gondang
sabangunan (dengan perangkat musik yang lengkap), erat hubungannya dengan
pemujaan para Dewa dan roh-roh nenek moyang (leluhur) pada zaman dahulu.Tetapi
itu dapat dilaksanakan dengan mengikuti tata cara dan persyaratan
tertentu.umpamanya sebelum acara dilakukan terbuka terlebih dahulu tuan rumah
(hasuhutan) melakukan acara khusus yang dinamakna Tua ni Gondang, sehingga
berkat dari gondang sabangunan. Dalam pelaksanaan tarian tersebut salah seorang
dari hasuhutan (yang mempunyai hajat )akan meminta permintaan kepada penabuh
gondang dengan kata-kata yang sopan dan santun sebagai berikut:
“Amang pardoal pargonci…….
“Alu-aluhon ma jolo tu omputa Debata Mulajadi Nabolon, na Jumadihon nasa adong, na jumadihon manisia dohot sude isi ni portibion.” “Alu-aluhon ma muse tu sumangot ni omputa sijolo-jolo tubu, sumangot ni omputa paisada, omputa paidua, sahat tu papituhon.” “Alu-aluhon ma jolo tu sahala ni angka amanta raja na liat nalolo.” |
Setiap selesai satu permintaan selalu diselingi dengan
pukulan gondang dengan ritme tertentu dalam beberapa saat. Setelah ketiga
permintaan atau seruan tersebut dilaksanakan dengan baik maka barisan keluarga
suhut yang telah siap manortor (menari) mengatur susunan tempat berdirinya
untuk memulai menari. Kembali juru bicara dari hasuhutan memintak jenis
gondang, satu persatu jenis lagu gondang, ( ada 7 jenis lagu Gondang) yang
harus dilakukan Hasuhutan untuk mendapatkan (tua ni gondang). Para melakukan
tarian dengan semangat dan sukacita. Adapun jenis permintaan jenis lagu yang
akan dibunyikan adalah seperti : permohonan kepada Dewa dan pada ro-roh leluhur
agar keluarga suhut yang mengadakan acara diberi keselamatan kesejahteraan,
kebahagiaan, dan rezeki yang berlimpah ruah, dan upacara adat yang akan
dilaksanakan menjadi sumber berkat bagi suhut dan seluruh keluarga, serta para
undangan.Sedangkan gondang terakhir yang dimohonkan adalah gondang hasahatan.
Didalam Menari banyak pantangan yang tidak diperbolehkan, seperti tangan
sipenari tidak boleh melewati batas setinggi bahu keatas, bila itu dilakukan
berarti sipenari sudah siap menantang siapapun dalam bidang ilmu perdukunan,
atau adu pencak silat, atau adu tenaga batin dan lain lain. Selain menari orang
Batak juga sangat senang menyanyi, baik secara perorangan, maupun berkelompok.
Lagu-lagu yang dinyanyikan bercerita tentang pemujaan terhadap kampung halaman,
keindahan negeri dan panorama yang indah permai. Sedangkan andung atau ratapan
adalah salah satu jenis nyanyian yang secara khusus dinyanyikan pada acara
dukacita atau menggambarkan suasana hati yang sedang berduka dan sedih. Sebagai
contoh,alat musik Batak Toba yang digunakan untuk mengiringi tarian tor-tor dan
nyanyian juga beranekaragam. Alat musik ini ada yang terbuat dari bahan
perunggu, kulit, kayu, dan bambu. Alat musik berbahan perunggu seperti ogung
atau gong. Ogung merupakan instrumen 4 jenis gendang yang berlainan bunyi/nada,
yaitu oloan, ihutan, doal, dan panggora. Sedangkan alat musik dari bahan kulit,
kayu dan bambu meliputi tagading, hesek, hasapi (kecapi), saga-saga, garantung,
suling (seruling), sordam dan salohat. Alat musik tagading merupakan
seperangkat instrumen yang terdiri dari 1 gondang sebagai bas, 1 odap-odap dan
5 tagading. Orang Batak Toba juga membedakan peralatan musik ini dalam dua
golongan besar yaitu Gondang Bolon (terdiri dari gordang(gendang besar),
taganing(gendang ukuran sedang) dengan lima lempeng kayu, odap-odap(gendang
kecil) yang kadang-kadang diganti dengan lempengan logam, gong dari tembaga
ditambah empat gong perunggu, dan sarune(seruling)) dan Gondang Hasapi (terdiri
dari 2 buah hasapi, sarune kecil, suling(seruling), garantung(bumbung kecil)
dengan lima lempeng kayu sebagai pengganti taganing).
Alat Musik
Margondang Khas Suku Batak
1. Margondang Pada Masa Purba
Yang dimaksud dengan Masa purba adalah masa dimana sebelum masuknya pengaruh agama Kristen ketanah batak, dimana pada saat itu masih menganut aliran kepercayaan yang bersifat polytheisme.Pada masa purba penggunaan gondang dalam konteks hiburan maupun pertunjukan belum didapati masyarakat . Keseluruhan kegiatan di tujukan untuk upacara adat maupun upacara religi yang bersifat sakral. Oleh karena itu upacara margondang pada masa purba dapat dibagi dalam 2 bagian yaitu :
a) Margondang adat, yaitu suatu upacara yang menyertakan gondang,
merupakan akualisasi dari aturan-aturan yang dibiasakan dalam hubungan manusia
dan manusia (hubungan horizontal), misalnya : gondang anak tubu (upacara anak
yang baru lahir), gondang manape goar (upacara pemberian nama/ gelar boru
kepada seseorang), gondang pagolihan anak (mengawinkan anak), gondang mangompoi
huta (peresmian perkampungan baru), gondang saur matua (upacara kematian orang
yang sudah beranak cucu) dan sebagainya.
b ) Margondang yaitu upacara yang menyertakan gondang, merupakan
akualisasi dari suatu kepercayaan tau keyakinan yang dianut dalam hubungan
manusia dengan tuhan-nya atau yang disembahnya (hubungan vertikal), misalnya :
gondang saem (upacara untuk meminta rejeki), gondang mamele, (upacara pemberian
sesajen kepada roh), gordang papurpur sapata (upacara pembersihan tubuh/ buang
sial) dan sebagainya.
Walaupun upacara margondang masa purba dibagi ke dalam
dua bagian, namun hubungan dengan adat dan religi dalam suatu upacara selalu
kelihatan dengan jelas. Hal tersebut dapat dilihat dari tata cara yang
dilakukan pada setiap upacara adat yang selalu menyertakan unsur religi dan
juga sebaiknya pada setiap upacara religi yang selalu menyertakan unsur adat.
Unsur religi yang terdapat dalam upacara adat dapat dilihat dari beberapa aspek
yang mendukung upacara tersebut, misalnya : penyertaan gondang, dimana dalam
setiap pelaksanaan gondang selalu diawali dengan membuat tua ni gondang (
memainkan inti dari gondang), yaitu semacam upacara semacam meminta izin kepada
mulajadi nabolon dan juga kepada dewa-dewa yang dianggap sebagai pemilik
gondang tersebut. Sedangkan unsur adat yang terdapat dalam upacara religi dapat
dilihat dari unsur dalihan na tolu yang selalu disertakan dalam pada setiap
upacara. Menurut Manik, bahwa pada mulanya agama dan adat etnik Batak Toba
mempunyai hubungan yang erat, sehingga tiap upacara adat sedikit banyaknya
bersifat keagamaan dan tiap upacara agama sedikit banyaknya diatur oleh adat
(1977: 69).
Walaupun hubungan dari kedua adat dan religi selalu
kelihatan jelas dalam pelaksanaan suatu upacara, perbedaaan dari kedua upacara
tersebut dapat dilihat dari tujuan utama suatu upacara dilaksanakan. Apabila
suatu upacara dilaksanakan untuk hubungan manusia yang disembahnya, maka
upacara tersebut di klasifikasikan kedalam upacara religi. Apabila suatu upacara
dilakukan untuk hubungan manusia dengan manusia , maka upacara tersebut dapat
di klasifikasikan ke dalam upacara adat.
2)
Margondang pada Zaman Sekarang
Margondang pada masa sekarang merupakan perkembangan
dari cara berpikir masyarakat setelah pengaruh gereja sudah sangat kuat pada
masyarakat Batak Toba.Dalam ajaran Kristiani, gereja hanya mengakui satu Tuhan
yang harus disembah yaitu Tuhan Yesus Kristus, apabila ada anggota gereja masih
melakukan penyembahan terhadap roh roh nenek moyang dan kepercayaan mereka yang
lama, maka orang tersebut aka dikeluarkan dari anggota gereja tersebut. Oleh
karena itu,muncul beberapa masalah yang bersifat problematic tentang penggunaan
gondang batak dalam kegiatan adat maupun keagamaan .
Di satu pihak orang Batak ingin mempraktikkan dan
menghayati gondang itu menurut visi dan tradisi yang sudah sangat mendarah
daging, dilain sisi ada kelompok yang menolak gondang untuk dipergunakan dalam
upacara adat maupun keagamaan, karena mereka melihat unsur-unsur animism pada
gondang tersebut , ada ketakutan mereka mempelajari sejarah batak dan
menghidupi unsur-unsur kebudayaannya. Ketakutan ini timbul karena adanya
predikat yang kurang baik sepeti kafir, kolot da tuduhan lain yang diberikan
penganut kebudayaan tersebut. Pada bagian yang lain ada juga kelompok agama
tradisional pada masyarakat Batak Toba yang menentang ajaran Kristen.
Konsep
Margondang pada masa sekarang dapat dibagi dalam tiga bagian besar, yaitu :
a.Margondang pesta, suatu
kegiatan yang menyertakan gondang dan merupakan suatu ungkapan kegembiraan
dalam konteks hibuan atau seni pertunjukkan, misalnya : gondang pembangunan
gereja, gondang naposo, gondang mangompoi jabu (memasuki rumah) dsb.
b. Margondang adat, suatu
kegiatan yang menyertakan gondang, merupakan aktualisasi dari system
kekerabatan dalihan na tolu, misalnya : gondang mamampe marga (pemberian
marga), gondang pangolin anak (perkawinan), gondang saur matua (kematian),
kepada orang diluar suku Batak Toba, dsb.
Gambar 5 : Tari Tortor dan Margondang saat pesta
pernikahan
c. Margondang Religi, upacara
ini pada saat sekarang hanya dilakukan oleh organisasi agamaniah yang masih
berdasar kepada kepercayaan batak purba. Misalnya parmalim, parbaringin,
parhudamdam Siraja Batak. Konsep adat dan religi pada setiap pelaksanaan
upacara oleh kelompok ini masih mempunyai hubungan yang sangat erat karena
titik tolak kepercayaan mereka adalah mulajadi na bolon dan segala kegiatan
yang berhubungan dengan adat serta hukuman dalam kehidupan sehari-hari adalah
berdasarkan tata aturan yang dititahkan oleh Raja Sisingamangaraja XII yang
diaggap sebagai wakil mulajadi na bolon
6. Hasil Kebudayaan Suku Batak
a. Pakaian Adat
Suku Batak
Ulos adalah kain
tenun khas Batak berbentuk selendang. Benda sakral ini merupakan simbol restu,
kasih sayang dan persatuan, sesuai dengan pepatah Batak yang berbunyi: “Ijuk
pangihot ni hodong, Ulos pangihot ni holong", yang artinya jika ijuk
adalah pengikat pelepah pada batangnya maka ulos adalah pengikat kasih sayang antara
sesama.
Secara harfiah,
ulos berarti selimut yang menghangatkan tubuh dan melindunginya dari terpaan
udara dingin. Menurut kepercayaan leluhur suku Batak ada tiga sumber yang
memberi panas kepada manusia, yaitu matahari, api dan ulos. Dari ketiga sumber
kehangatan tersebut ulos dianggap paling nyaman dan akrab dengan kehidupan
sehari-hari.
Dahulu nenek moyang
suku Batak adalah manusia-manusia gunung, demikian sebutan yang disematkan
sejarah pada mereka. Hal ini disebabkan kebiasaan mereka tinggal dan berladang
di kawasan pegunungan. Dengan mendiami dataran tinggi berarti mereka harus siap
berperang melawan dinginnya cuaca yang menusuk tulang. Dari sinilah sejarah
ulos bermula.
Pada awalnya nenek
moyang mereka mengandalkan sinar matahari dan api sebagai tameng melawan rasa
dingin. Masalah kecil timbul ketika mereka menyadari bahwa matahari tidak bisa
diperintah sesuai dengan keinginan manusia. Pada siang hari awan dan mendung
sering kali bersikap tidak bersahabat. Sedang pada malam hari rasa dingin
semakin menjadi-jadi dan api sebagai pilihan kedua ternyata tidak begitu
praktis digunakan waktu tidur karena resikonya tinggi. Al hajatu ummul
ikhtira'at, karena dipaksa oleh kebutuhan yang mendesak akhirnya nenek moyang
mereka berpikir keras mencari alternatif lain yang lebih praktis. Maka lahirlah
ulos sebagai produk budaya asli suku Batak.
Tentunya ulos tidak
langsung menjadi sakral di masa-masa awal kemunculannya. Sesuai dengan hukum
alam ulos juga telah melalui proses yang cukup panjang yang memakan waktu cukup
lama, sebelum akhirnya menjadi salah satu simbol adat suku Batak seperti
sekarang. Berbeda dengan ulos yang disakralkan yang kita kenal, dulu ulos malah
dijadikan selimut atau alas tidur oleh nenek moyang suku Batak. Tetapi ulos
yang mereka gunakan kualitasnya jauh lebih tinggi, lebih tebal, lebih lembut
dan dengan motif yang sangat artistik.
Setelah mulai
dikenal, ulos makin digemari karena praktis. Tidak seperti matahari yang
terkadang menyengat dan terkadang bersembunyi, tidak juga seperti api yang bisa
menimbulkan bencana, ulos bisa dibawa kemana-mana. Lambat laun ulos menjadi
kebutuhan primer, karena bisa juga dijadikan bahan pakaian yang indah dengan
motif-motif yang menarik. Ulos lalu memiliki arti lebih penting ketika ia mulai
dipakai oleh tetua-tetua adat dan para pemimpin kampung dalam
pertemuan-pertemuan adat resmi. Ditambah lagi dengan kebiasaan para leluhur
suku Batak yang selalu memilih ulos untuk dijadikan hadiah atau pemberian
kepada orang-orang yang mereka sayangi.
Kini ulos memiliki
fungsi simbolik untuk berbagai hal dalam segala aspek kehidupan orang Batak.
ulos menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan adat suku Batak. Mangulosi, adalah salah satu hal yang teramat penting
dalam adat Batak. Mangulosi secara harfiah berarti memberikan ulos. Mangulosi
bukan sekadar pemberian hadiah biasa, karena ritual ini mengandung arti yang
cukup dalam. Mangulosi melambangkan pemberian restu, curahan kasih sayang,
harapan dan kebaikan-kebaikan lainnya.
Dalam ritual
mangulosi ada beberapa aturan yang harus dipatuhi, antara lain bahwa seseorang
hanya boleh mangulosi mereka yang menurut tutur atau silsilah keturunan berada
di bawah, misalnya orang tua boleh mengulosi anaknya, tetapi anak tidak boleh
mangulosi orang tuanya. Disamping itu, jenis ulos yang diberikan harus sesuai
dengan ketentuan adat. Karena setiap ulos memiliki makna tersendiri, kapan
digunakan, disampaikan kepada siapa, dan dalam upacara adat yang bagaimana,
sehingga fungsinya tidak bisa saling ditukar.
Dalam
perkembangannya, ulos juga diberikan kepada orang "non Batak".
Pemberian ini bisa diartikan sebagai penghormatan dan kasih sayang kepada
penerima ulos. Misalnya pemberian ulos kepada Presiden atau Pejabat negara,
selalu diiringi oleh doa dan harapan semoga dalam menjalankan tugas-tugas ia
selalu dalam kehangatan dan penuh kasih sayang kepada rakyat dan orang-orang
yang dipimpinnya.
Beberapa jenis ulos
yang dikenal dalam adat Batak adalah sebagai berikut:
1. Ulos
Ragi
Ulos Ragi berarti corak, dan Ragidup berarti lambang kehidupan. Dinamakan
demikian karena warna, lukisan serta coraknya memberi kesan seolah-olah ulos
ini benar-benar hidup. Ulos jenis ini adalah yang tertinggi kelasnya dan sangat
sulit pembuatannya. Ulos ini terdiri atas tiga bagian; dua sisi yang ditenun
sekaligus, dan satu bagian tengah yang ditenun tersendiri dengan sangat rumit.
Ulos Rangidup bisa ditemukan di setiap rumah tangga suku batak di daerah-daerah
yang masih kental adat bataknya. Karena dalam upacara adat perkawinan, ulos ini
diberikan oleh orang tua pengantin perempuan kepada ibu pengantin lelaki.
2.
ulosRagihotang
Hotang berarti
rotan, ulos jenis ini juga termasuk berkelas tinggi, namun cara pembuatannya
tidak serumit ulos Ragidup. Dalam upacara kematian, ulos ini dipakai untuk
mengafani jenazah atau untuk membungkus tulang belulang dalam upacara
penguburan kedua kalinya.
3.
Ulossibolang
Disebut Sibolang sebab diberikan kepada orang yang berjasa dalam
mabolang-bolangi (menghormati) orang tua pengantin perempuan untuk mangulosi
ayah pengantin laki-laki pada upacara pernikahan adat batak. Dalam upacara ini
biasanya orang tua pengantin perempuan memberikan Ulos Bela yang berarti ulos
menantu kepada pengantin laki-laki.
Mengulosi menantu lelaki bermakna nasehat agar ia selalu berhati-hati
dengan teman-teman satu marga, dan paham siapa yang harus dihormati; memberi
hormat kepada semua kerabat pihak istri dan bersikap lemah lembut terhadap
keluarganya. Selain itu, ulos ini juga diberikan kepada wanita yang ditinggal
mati suaminya sebagai tanda penghormatan atas jasanya selama menjadi istri
almarhum. Pemberian ulos tersebut biasanya dilakukan pada waktu upacara
berkabung, dan dengan demikian juga dijadikan tanda bagi wanita tersebut bahwa
ia telah menjadi seorang janda. Ulos lain yang digunakan dalam upacara adat
adalah Ulos Maratur dengan motif garis-garis yang menggambarkan burung atau
banyak bintang tersusun teratur. Motif ini melambangkan harapan agar setelah
anak pertama lahir akan menyusul kelahiran anak-anak lain sebanyak burung atau
bintang yang terlukis dalam ulos tersebut.
4.Ulos Maratur
Ulos ini memiliki motif garis –
garis yang menggambarkan jejeran burung atau bintang yang tersusun teratur.
Sebagai perlambang sikap patuh, rukun, dan kekeluargaan. Termasuk dalam hal
kekayaan dan kekuasaan. Dan biasanya ulos ini digunakan dengan harapan agar
setelah anak pertama dalam sebuah keluarga lahir akan menyusul kelahiran
anak-anak lainnya sebanyak burung atau bintang yang terlukis dalam ulos
tersebut.
5.Ulos Abit Godang.
Ulos yang memiliki harga yang cukup tinggi
ini memiliki makna suatu harapan dari orangtua agar anaknya berlimpah sukacita
dan kebahagiaan. Konon, kain ini memiliki tempat terhormat di mata masyarakat
Batak – Toba.
6. Ulos Mangiring
Ulos inilah yang biasa digunakan
sehari-hari. Ada pula yang digunakan sebagai tali-tali (tutup kepala kaum pria)
dan saong (tutup kepala wanita). Biasanya ulos ini diberikan oleh orang yang
dituakan kepada cucu-cucunya.
7. Ulos Lobu – lobu
Ulos ini tergolong dalam ulos yang
jarang dikenal dan dimiliki. Biasanya hanya digunakan oleh mereka yang dilanda
kemalangan. Ulos ini tidak diperdagangkan. Zaman dulu, ulos ini diberikan
kepada anak perempuan yang sedang hamil supaya proses melahirkan anak berjalan
lancar, dan supaya bayi serta ibunya selamat dan sehat.
8. Ulos Runjat
Ulos ini biasanya hanya dimiliki
mereka yang memiliki status tinggi di masyarakat. Hanya digunakan pada
acara-acara khusus.
9. Ulos Ragi Pakko
Ulos ini biasanya digunakan sebagai
selimut untuk menghangatkan tubuh dari udara dingin.
Ulos ini biasanya dimiliki oleh orang yang sudah memiliki cucu anak lelaki dan anak perempuannya. Jarang sekali orang yang memiliki ulos ini, karena memiliki aturan yang sangat banyak.
Ulos ini biasanya dimiliki oleh orang yang sudah memiliki cucu anak lelaki dan anak perempuannya. Jarang sekali orang yang memiliki ulos ini, karena memiliki aturan yang sangat banyak.
* Masih banyak macam – macam ulos
lainnya, yaitu Ulos Ragi Botik, Ulos Ragi Angkola, Ulos Sirata, Ulos
Silimatuho, Ulos Holean, Ulos Tumtuman / Edang – edang,
Kalau kita melihat ulos dari besar – kecil biaya pembuatannya, ulos dapat dibedakan dalam dua golongan :
10. Ulos Nabalga
Ulos ini adalah ulos kelas tertinggi.
Jenis ulos ini pada umumnya digunakan dalam upacara adat sebagai pakaian resmi
atau sebagai ulos yang diserahkan atau diterima. Yang termasuk didalam golongan
ini ialah: Sibolang, Runjat Jobit, Ragidup, dsb.
11. Ulos Nametme
Ulos ini ukuran panjang dan lebarnya
lebih kecil dan lebih murah daripada ulos nabalga, tidak digunakan dalam
upacara adat, melainkan untuk dipakai sehari-hari.
Dikalangan suku Batak sering
terdengar kata “Mangulosi” yang artinya memberi Ulos. Dalam hal mangulosi, ada
aturan yang harus dipatuhi, antara lain seseorang hanya boleh memberikan
ulos/mangulosi kepada orang yang tingkat keturunannya berada dibawahnya,
misalnya orang tua boleh mangulosi anak, tetapi anak tidak boleh mangulosi
orang tua, karena dianggap pantang/tidak sopan. Lalu seorang anak perempuan
sama sekali tidak diperbolehkan memberikan ulos/mangulosi saudara/kerabat dari
ibunya. Ulos yang diberikan dalam mangulosi tidak boleh sembarangan, baik dalam
macam maupun cara membuatnya.
Dari besar kecil biaya pembuatannya, ulos dapat dibedakan menjadi dua
bagian:
Pertama, Ulos Na Met-met; ukuran panjang dan lebarnya jauh lebih kecil
daripada ulos jenis kedua. Tidak digunakan dalam upacara adat, hanya untuk
dipakai sehari-hari.
Kedua, Ulos Na Balga; adalah ulos kelas atas. Jenis ulos ini pada umumnya
digunakan dalam upacara adat sebagai pakaian resmi atau sebagai ulos yang
diserahkan atau diterima.
Biasanya ulos dipakai dengan cara dihadanghon; dikenakan di bahu seperti
selendang kebaya, atau diabithon; dikenakan seperti kain sarung, atau juga
dengan cara dililithon; dililitkan dikepala atau di pinggang.
Kain ini selalu ditampilkan dalam
upacara perkawinan, mendirikan rumah, upacara kematian, penyerahan harta
warisan, menyambut tamu yang dihormati dan upacara Tor-tor. Kain adat sesuai
dengan sistem keyakinan yang diwariskan nenek moyang.
b. Rumah Adat
Suku Batak
Orang Batak memiliki pemukiman yang
khas berupa desa-desa yang tertutup dan terdiri dari kelompok-kelompok kecil.
Biasanya kelompok ini adalah kumpulan marga , clan atau kelompok yang masih
memiliki hubungan kekerabatan. Tipikal desa tertutup ini disebut huta (secara
khusus bagi orang Batak Toba).
Sebagai contoh desa tempat tinggal
orang Batak Toba pada jaman dahulu dikelilingi oleh tembok batu atau tanah
(parik) yang ditanami oleh pohon bambu yang sangat rapat sehingga hampir
mustahil ditembus manusia. Saat ini masih ada beberapa sisa-sisanya yang bisa
ditemukan di beberapa desa. Jalan masuk atau access road ke huta tersebut hanya
ada satu atau maksimal dua gerbang yang disebut bahal, yaitu bahal jolo
(gerbang depan) dan bahal pudi (gerbang belakang). Dekat dengan bahal biasanya
terdapat sebuah pohon beringin (baringin) atau hariara. Merupakan pohon
kehidupan yang dipercaya sebagai perantara antara dunia tengah dan dunia atas.
Kedua pohon ini selalu terlibat dalam ritual mistis dan acara-acara adat orang
Batak Toba.
Bagi orang Batak Toba terdapat dua
jenis rumah adat yang ada di dalam suatu huta, yaitu ruma dan sopo
yang letaknya biasa saling berhadapan. Diantara kedua deret ruma dan sopo
tersebut terdapat halaman(alaman) yang luas dan digunakan sebagai pusat
kegiatan orangtua maupun anak-anak. Kedua bangunan ini, meskipun secara sekilas
kelihatan sama, sebenarnya sangat berbeda dari segi konstruksi dan fungsi. Dari
segi konstruksi, ciri-ciri yang bisa dilihat adalah bentuk tangga, besar dan
jumlah tiang, serta bentuk pintu. Konstruksi interior bangunan juga berbeda.
Dari segi fungsi, ruma adalah tempat tinggal orang Batak, sedangkan sopo berfungsi
sebagai lumbung padi, sebagai tempat pertemuan, tempat bertenun dan menganyam
tikar, dan tempat untuk muda-mudi bertemu. Sopo orang Batak Toba pada awalnya
tidak berdinding, tetapi oleh karena biaya mendirikan ruma sangat mahal dan
susah, dikemudian hari sopo ini dialihkan fungsinya menjadi rumah tinggal
dengan menambahkan dinding, pintu dan jendela.
Demikian juga rumah adat orang Batak
yang lainnya memiliki tipikal bentuk rumah dan fungsi yang hampir sama. Namun
masing-masing rumah adat tetap memiliki kekhasan masing-masing.
Rumah adat
suku Batak Toba disebut juga ‘rumah bolon’. Rumah ini
berbentuk panggung dengan bahan utama bangunan berupa kayu. Hal yang paling
menarik perhatian adalah bentuk atapnya yang melengkung dan runcing di tiap
ujungnya.
Di balik
bentuknya yang sangat unik, ternyata rumah adat suku Batak ini memiliki makna
dan arti tersendiri.Filosofi rumah adat suku batak memang sangat menarik untuk
dipelajari, mulai dari proses pembangunan rumah sampai segala dekorasi,
ternyata semuanya memiliki makna yang cukup dalam.
Pembangunan Rumah Bolon
Proses
pembangunan rumah adat suku Batak selalu dilaksanakan secara gotong royong.
Bahan yang digunakan adalah bahan yang dengan kualitas baik, umumnya seorang
pande (tukang) akan memilih kayu-kayu dengan cara memukul kayu tersebut dengan
suatu alat untuk mencari bunyi kayu yang nyaring.
Pondasi
rumah adalah hal yang terpenting, dibuat dengan formasi berbentuk segi empat,
dipadu tiang dan dinding yang kuat. Makna dari pondasi ini sendiri adalah saling
bekerja sama demi memikul beban yang berat.
Untuk bagian
atas rumah, ditopang oleh sebuah tiang yang biasa disebut tiang “ninggor”
dibantu oleh kayu penopang yang lain. Tiang “ninggor” ini lurus dan tinggi,
orang suku Batak memaknainya sebagai simbol kejujuran. Untuk menjunjung tinggi
kejujuran, perlu didukung oleh rasa keadilan (disimbolkan oleh kayu penopang
pada “ninggor”).
Di bagian
depan atap terdapat “arop-arop” bermakna harapan untuk bisa hidup layak. Lalu
ada “songsong boltok” untuk menahan atap, yang punya arti bila ada pelayanan
tuan rumah yang kurang baik sebaiknya dipendam dalam hati saja.
Interior
Rumah Adat Suku Batak
Orang suku
Batak selalu membersihkan ruangan rumah dengan cara menyapu semua kotoran dan
mengeluarkannya lewat lubang “talaga” yang ada di dekat tungku masak. Hal ini
juga bermakna untuk membuang segala keburukan di dalam rumah, juga melupakan
kelakuan-kelakuan yang tidak baik.
Di dalam
rumah terdapat semacam rumah panggung kecil yang mirip balkon pada rumah biasa.
Tempat ini untuk menyimpan padi, bermakna pula sebagai pengharapan untuk
kelancaran rezeki. orang Batak, bila tangga rumah ini cepat rusak atau aus, itu
malah membanggakan. Karena itu artinya sering dipakai orang atau dikunjungi
orang karena tuan rumah tersebut adalah orang yang baik dan ramah.
Gorga
Di setiap
rumah di bagian pintu masuk, selalu ada tangga. Bagi orang lain, bila ada
tangga rumah rusak, mungkin akan mengeluh. Tapi bagi
Gorga adalah pahatan/ukiran kayu
yang ada pada rumah adat suku Batak. Hiasan ini sendiri memiliki nama-nama
tersendiri berdasarkan bentuk ukirannya :
Gorga simataniari (matahari) : menggambarkan
matahari yang merupakan sumber kehidupan manusia.
Gorga desa naualu : menggambarkan 8 penjuru
mata angin yang sangat berkaitan erat dengan aktivitas ritual suku Batak
Gorga singa-singa :
menggambarkan tuan rumah sebagai orang yang kuat, kokoh, pemberani dan
berwibawa.
Itu beberapa contoh nama gorga,
masih cukup banyak nama gorga lainnya yang memiliki makna tertentu. Gorga sendiri
sering dilukis dengan 3 warna :
Merah : melambangkan
kecerdasan dan wawasan yang luas sehingga lahir kebijaksanaan.
Putih : melambangkan
kejujuran yang tulus sehingga lahir kesucian.
Hitam : melambangkan
kewibawaan yang melahirkan kepemimpinan.
Selain
terdapat Gorga rumah adat Suku Batak juga ada yang dipasangi tanduk kerbau di
pucuk atapnya. Hal ini melambangkan rumah sebagai “kerbau berdiri tegak”.
Suku Batak
menganggap rumah adat mereka sebagai kerbau yang sedang berdiri dan dinamakan
Rumah Balai Batak Toba. Bentuk rumah adat suku Batak berupa rumah panggung.
Selain
sangat menghargai binatang kerbau, warga masyarakat Sumatera Utara sangat
mencintai gotong royong dan kebersamaan. Misalnya, pada saat membangun rumah
adat suku Batak, mereka melakukannya dengan bersama-sama.
Bagian-bagian Rumah Adat Suku Batak
1)
Rumah adat suku Batak terdiri dari tiga bagian yang disebut tritunggal benua,
yaitu:
Atap rumah
atau benua atas yang dipercaya sebagai tempat dewa.
Lantai dan
dinding atau benua tengah yang ditempati manusia.
Kolong
rumah atau benua bawah yang dipercaya sebagai sebagai tempat kematian.
Pada zaman dulu, rumah bagian tengah
itu tidak mempunyai kamar. Untuk masuk ke dalam rumah harus menaiki tangga dari
kolong rumah. Anak tangganya berjumlah lima sampai tujuh buah.
2)
Bagian rumah adat Batak berupa tiang biasanya dekat dengan pintu. Tiang ini
memepunyai bentuk yang bulat panjang, yang dimaksudkan untuk menyangga bagian
atas atau lantai dua.
3)
Balok digunakan untuk menghubungkan semua tiang yang disebut juga dengan
rassang. Balok bentuknya lebih tebal daripada papan Balok ini bisa
menyatukan tiang-tiang depan, belakang, samping kanan dan kiri rumah, dan
4) Rumah adat suku Batak
mempunyai atap rumah yang terbuat dari ijuk. Ijuk ini terdiri atas 3 lapisan.
Tuham-tuham merupakan lapisan pertama, sedangkan lapisan kedua disebut lalubak
dan kemudian dilanjutkan dengan lapisan ketiga.
5) Tangga rumah adat suku
Batak ada dua macam, yaitu:
Pertama adalah tangga jantan (balatuk tunggal). Tangan jantan terbuat dari
beberapa potongan pohon. Jenis pohon yang bisa dijadikan tangga tidak
sembarang. Pohon ini biasanya disebut sibagure, merupakan jenis pohon yang
mempunyai batang kuat.
Kedua disebut tangga betina (balatuk boru-boru). Jenis tangga ini merupakan
paduan beberapa potong kayu yang keras dan biasanya terdiri atas anak tangga
dengan hitungan yang ganjil.
Ciri Khas Rumah Adat Suku Batak
Ada beberapa ciri khas yang dapat
dijumpai pada rumah adat suku Batak. Diantaranya adalah:
Bentuk bangunan merupakan perpaduan dari tiga macam hasil seni,
yaitu seni pahat, seni ukir, serta hasil seni kerajinan.
Bentuk rumah adat dari suku
Batak pada umumnya melambangkan “Kerbau berdiri tegak”.
Menghias bagian atap dengan
tanduk kerbau.
Bangunan dibuat berdasarkan
musyawarah dan saran-saran dari para orang tua.
Macam -
MacamBentuk Rumah Adat Suku Batak
Batak Toba
Rumah Batak Toba memberikan kesan
kokoh karena konstruksi tiang-tiangnya terbuat dari kayu gelondongan. Dulu
ketika sering terjadi pertikaian antarsuku, rumah-rumah selalu dikelompokkan
sebagai benteng di atas bukit. Lingkungannya dikelilingi pohon sebagai pagar
yang cukup
rapat.
Batak Karo
Rumah Batak Karo merupakan tipe
rumah pegunugan. Pintu depannya dihadapkan ke arah hulu dan pintu belakangnya
ke arah muara. Bentuk atap rumah kepala marga berbeda dengan bentuk rumah-rumah
lainnya. Umumnya, denah rumah Batak Karo direncanakan untuk keluarga jamak yang
dihuni rata-rata delapan keluarga batih.
Batak Simalungun
Bentuk atap rumah Batak Simalungun
kadang-kadang tidak simetris.Makhota atapnya menghadap ke empat arah mata angin
dan ujung atapnya dihiasi dengan hiasan yang berbentuk kepala kerbau.
c. Senjata
Tradisional
Tunggal
Panaluan adalah senjati tradisional bagi
suku bangsa Batak Toba. Senjata ini sebenarnya adalah wujud tongkat berukir dan
pangkalnya berwujud kepala manusia lengkap dengan rambutnya yang terbuat dari
bulu kuda.
d. Upacara
Upacara dalam masyarakat Sumatra
Utara, khususnya bagi masyarakat Batak adalah merupakan upacara religius dan
sakral.
adat Suku Batak:
Contoh upacara adat suku batak
Upacara Masa Kehamilan
Upacara Kelahiran
Upacara Martutuaek
Upacara Mangebang
Upacara Khitanan
Upacara Kematian
Upacara Mangokal Holi
7. Organisasi
Masyarakat
a. Falsafah Dan Sistem Kemasyarakatan
Ada falsafah dalam perumpamaan dalam bahasa Batak Toba yang berbunyi : jonok
dongan partubu jonokan do dongan parhundul, merupakan
suatu filosofi agar kita senantiasa menjaga hubungan baik dengan tetangga,
karena merekalah teman terdekat. Namun dalam pelaksanaan adat, yang pertama
dicari adalah yang satu marga, walaupun pada dasarnya tetangga tidak boleh
dilupakan dalam pelaksanaan adat.
Masyarakat Batak memiliki falsafah, azas sekaligus struktur dan system dalam
kemasyarakatannya yakni yang dalam bahasa Batak Toba disebut Dalihan na Tolu.
Berikut penyebutan Dalihan na Tolu dalam enam puak Batak.
Dalihan Na
Tolu (Toba) : somba marhula-hula, manat mardongan tubu dan elek
marboru.
Dalian Na
Tolu (Mandailing dan Angkola) : hormat Marmora, manat markahanggi
dan elek maranak boru.
Tolu
Sahundulan (Simalungun) : martondong ningon hormat sombah,
marsanina ningon pakkei manat dan marboru ningon elek pakkei.
Rakut Sitelu
(Karo) : nembah man kalimbubu, mehamat man sembuyak dan
nami-nami man anak beru.
Daliken
Sitelu (Pakpak) : sembah merkula-kula, manat merdengan tubuh dan elek
marberru.
Hula-hula
atau mora : adalah pihak keluarga dari istri. Hula-hula ini
menempati posisi yang paling dihormati dalam pergaulan dan adat-istiadat Batak
(semua sub suku Batak) sehingga kepada semua orang Batak dipesankan harus
hormat kepada Hula-hula (Somba Marhula-hula).
Dongan tubu
atau hahanggi : disebut juga Dongan Sabutuha adalah saudara
laki-laki satu marga. Arti harfiahnya lahir dari satu perut yang sama. Mereka
ini seperti batang pohon yang saling berdekatan, saling menopang, walaupun
karena terlalu dekatnya kadang-kadang saling bergesekan. Namun, pertikaian
tidak membuat hubungan satu marga bisa terpisah. Diumpamakan seperti air yang
dibelah dengan pisau, kendati dibelah tetap bersatu. Namun kemudian kepada
semua orang Batak (berbudaya Batak) dipesankan harus bijaksana kepada saudara
semarga. Diistilahkan Manat Mardongan Tubu.
Boru atau
anak boru : adalah pihak keluarga yang mengambil istri dari
suatu marga (keluarga lain). Boru ini menempati posisi paling rendah sebagai
parhobas atau pelayan, baik dalam pergaulan sehari-hari maupun (terutama) dalam
setiap upacara adat. Namun walaupun berfungsi sebagai pelayan bukan berarti
bisa diperlakukan dengan semena-mena. Melainkan pihak boru harus diambil
hatinya, dibujuk, diistilahkan Elek Marboru.
Namun bukan berarti ada kasta dalam sistem kekerabatan Batak. Sistem
kekerabatan Dalihan Na Tolu adalah bersifat kontekstual. Sesuai konteksnya,
semua masyarakat Batak pasti pernah menjadi hula-hula, juga sebagai dongan tubu
juga sebagai boru. Jadi setiap orang harus menempatkan posisinya secara
kontekstual.
Sehingga dalam tata kekerabatan, semua orang
Batak harus berprilaku raja. Raja dalam tata kekerabatan Batak bukan berarti
orang yang berkuasa, tetapi orang yang berprilaku baik sesuai dengan tata krama
dalam sistem kekerabatan Batak. Maka dalam setiap pembicaraan adat selalu
disebut raja ni hula-hula, raja ni dongan tubu dohot raja ni boru.
8. Sistem
politik
Secara umum,
kepemimpinan pada masyarakat Batak terbagi dalam tiga bidang, yaitu kepemimpinan
adat, pemerintah, dan agama. Kepemimpinan dalam bidang adat meliputi persoalan
perkawinan, perceraian, kematian, warisan, penyelesaian perselisihan, kelahiran
anak, dan sebagainya. Kepemimpinan di bidang adat tidak berada dalam tangan
seorang tokoh, tetapi merupakan suatu musyawarah dari sangkep sitelu.
Kepemimpinan
di bidang pemerintahan dipegang oleh salah satu dari turunan tertua merga taneh.Kepala huta disebut penghulu, kepala urungdisebut raja urung dan sibayak untuk
bagian kerajaan. Kedudukan tersebut merupakan jabatan turun-temurun dan yang
berhak adalah anak laki-laki tertua (situa) atau si bungsu (sinuda).
Anak-anak yang lain (sitengah) tidak mempunyai hak menjadi pemimpin.
Selain menjalankan pemerintaha, mereka juga menjalankan tugas peradilan,
yaitu penghulu mengetuai sidang di balehuta dan raja urung.
Pengadilan teretinggi adalah bale raja berompat yang
merupakan sidang kelima sibayak yang ada di Karo.
Masyarakat
Karo tidak mengenal pimpinan keagamaan asli karena konsepsi tentang kekuatan
gaib dan kepercayaan lain tidak seragam. Namun, pada suku bangsa Batak yang
menganut agama islam, tokoh dalam agam islam (para mualim) sangat
besar peranan dan pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat. Jabatan ini tidak
turun-temurun, seperti dukun guru sibaso yang
menjadi dukun karena pengalaman tertentu. Demikian pula pemilihan pendeta dan
ulama, mereka dipilih karena pengetahuan agama, pengabdian, dan keteladanannya.
9.Sistem
IPTEK
Sistem
teknologi dalam orang Batak Toba cukup unik dengan adanya rumah batak yang
menjadi arsitektur kebanggaan mereka. Ruma Batak ini dibangun dari bahan-bahan
alami seperti ijuk, kayu, dan batu. Terdapat pengaturan hierarki ruang dalam
ruma batak ini menurut kepentingan ruang dan penamaannya berdasarkan jenis
ruangan tersebut.
Selain itu juga terdapat hirarki
pembentukan sebuah kampung atau huta yang dimulai dari kelompok terkecil yaitu
klan keluarga, huta, kemudian bius sebagai kelompok yang terbesar. Orang
Batak memiliki kegemaran dan keahlian mengukir sejak lama.
Hal ini dapat dilihat dari beberapa
contoh bentuk peninggalan perhiasan yang ditemukan oleh para ahli. Material
yang diukir adalah kayu dan juga logam. Perhiasan tersebut biasanya digunakan
oleh para tetua atau keluarga pemimpin.
Peninggalan
perhiasan seperti ini juga dapat menunjukkan tingginya kemampuan teknologi yang
telah berkembang pada masa itu. Selain perhiasan, masyarakat orang Batak juga
menggunakan ukiran dari kayu yang disebut sebagai Gorga. Masing-masing gorga memiliki
nama dan makna tersendiri serta bentuk yang khas. Penggunaan gorga ini
mengikuti aturan-aturan tertentu yang telah ada sejak lama. Aturan tersebut
menyangkut ketepatan pemaknaan dan penggunaan sesuai dengan tujuan yang ingin
dicapai. Hingga sekarang orang Batak juga masih tetap menekuni kegemaran
mengukir seperti ini namun jumlah peminat dan yang memiliki keahlian untuk
mengukir sudah sangat terbatas jumlahnya.
BAB III
PENUTUP
a.
Kesimpulan
Suku Batak adalah suku yang terletak
di daerah pegunungan Sumatera Utara, mulai dari perbatasan DAC di utara sampai
ke perbatasan dengan Riau dan Sumatera Barat di sebelah selatan. Suku Batak
lebih khusus terdiri dari sub suku-suku bangsa:
1.
Batak Karo
2.
Batak Simalungun
3.
Batak Pakpak
4.
Batak Toba
5.
Batak Angkola
Unsur kebudayaan suku Batak terdiri
dari, unsur religi, unsur kekerabatan, unsur polotik, unsur kesenian,
organisasi, iptek, hasil kebudayaan, bahasa dan mata pencaharian. Dalam
kehidupan keseharian orang Batak menggunakan beberapa logat yaitu logat Karo,
logat Pakpak, logat Simalungun, logat Toba. Suku Batak di dominasi oleh agama
kristen protestan.
DAFTAR PUSTAKA
http//:wikipedia.com
http //:bloganneahira.com
http//:filosofi sukuBatak.com
Prof. Dr. Koentjaraningrat 1999 manusia dan kebudayaan
di Indonesia, Djambatan
http//: unsurkebudayaanBatak.com